Kemalangan Hidup Kaum Muda dalam Puisi-puisi Sazma A. Al-Kautsar

Foto: Buku Kisah Kasih Keluh Kukorbankan

Setelah orang-orang tak lagi mencintai kita, barangkali gambaran kehidupan akan serupa dengan yang dialami tokoh aku lirik dalam The Hunger, Knut Hamsun. Sebuah kehidupan yang carut-marut, semua dilakukan secara sendiri dan orang-orang hanya orang-orang yang lalu lalang di jalan. Tak akan mempedulikan kita meski kehidupan kita dirajam kesulitan.

Membaca Kisah Kasih Keluh Kukorbankan, adalah sebuah pengalaman berharga menyaksikan bagaimana seorang penyair menyelesaikan buku puisi pertamanya sekaligus mengumpulkan segenap keberanian untuk membukukannya. Dan penyair Sazma A. Al-Kautsar telah melakukannya. Membukukan karya berarti menyiarkan karya pada khalayak, setelah itu pasti ada pembacaan-pembacaan oleh orang lain terhadap karya kita dan kemudian adalah respon terhadap pembacaan karya kita. Barangkali semacam itulah kepedulian pembaca terhadap penulis.

Sebelum lebih jauh membicarakan tentang buku puisi perdana penyair Sazma, mungkin beberapa informasi tentang penyair wajib kita ketahui. Sazma A. Al-Kautsar adalah anak dari penyair Herry Lamongan, seorang penyair besar kebanggaan Lamongan. Seperti penyair Aji Ramadhan yang merupakan anak dari penyair Mardi Luhung. Sazma juga aktif dalam beberapa komunitas literasi di Lamongan, seperti Perpustakaan Jalanan Kanal, Kostela, juga Guneman Sastra. Ia lahir di Lamongan 1997, dan karya-karyanya telah terangkum dalam beberapa buku antologi diantaranya: Nyala Abadi (2018), Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018), dan Memoar Purnama di Kampung Halaman (2019). Dari sedikit informasi ini kita tahu bagaimana penyair Sazma berproses.

Kisah Kasih Keluh Kukorbankan, merangkum 54 puisi Sazma. Ia membuka buku kumpulan puisinya ini dengan melankolia yang sangat dekat dengan kebahagiaan kaum muda kontemporer. Namun ada perbedaan lain, jika kaum muda lebih suka menikmati senja dengan kebebasannya sendiri dengan segala gaya hidup kontemporer, di puisi pertama ini Sazma seolah ingin membawa senja yg belum terkontaminasi budaya kontemporer kaum muda. Berikut adalah sepotong puisi berjudul “Senja di Kampungku”. … Inilah saat senja menyinari langit kampungku/ Membisingkan kesunyian dunia ini/ Para generasi sebelumnya hanya menonton/ Membayangkan ia waktu masih kanak-kanak/ Kesentosaan lahir, sumringah melihat/ Penerusnya sumringah menjadikan ia abadi dalam ingatan.

Selanjutnya dalam pembacaan terhadap buku puisi penyair Sazma kita akan menemukan momen-momen yang barangkali kurang puitik. Namun pemyair berhasil melakukannya. Beberapa judul puisi tersebut di antaranya: Ilmu, KKN Desa Galau 1, KKN Desa Galau 2, Pahlawan Kesiangan, Edan. Puisi-puisi tersebut entah kenapa membuat saya teringat lagi akan momen-momen puitik yang selalu dicari-cari oleh setiap penyair. Memang ada beberapa cara yang digunakan para penyair untuk menyentuh momen puitik, tergantung kepekaan masing-masing. Dalam suatu diskusi Candrakirana penyair Bambang Kempling mengatakan suatu saat ketika ada katak melompat di depan kita, itu juga bisa dikatakan moment puitik bila kita merasa ada keindahan tersendiri dalam kejadian tersebut.

Sementara yang ketiga adalah religiusitas penyair dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Di awal pembukaan, saya menggambarkan ketidakmenyenangkan itu serupa yang dialami toloh aku lirik dalam novel The Hunger, knut Hamsun. Suatu keadaan yang benar-benar tidak menyenangkan. Tak ada jaminan hidup menyenangkan, orang-orang di sekitar kita hanya orang-orang yang lalu lalang tidak terlalu peduli dengan kesulitan kita. Hingga keadaan benar-benar menghimpit, ketiadaan uang untuk membeli makan memaksa aku lirik untuk menggigit batu atau kulit kayu. Tak ada sandaran terakhir dalam hidup aku lirik untuk sekedar berkeluh kesah.

Sementara  aku lirik dalam puisi-puisi Sazma mengalami kondisi yang kurang menyenangkan, suatu keadaan di mana kasih sayang sirna dari hadapan aku lirik. Bisa kita simak di beberapa puisi berikut.


Benar sekali kata peramal tua itu
Cinta itu mudah dipertemukan
Tapi sulit untuk mencapai titik ke pelaminan

Aku menangis? Sangat ingin
Burung merpati itu adalah
Kabar terakhir dari dirinya

(Berita dari Burung Merpati, hlm 29)

Dari potongan puisi ini, kita akan mengerti bagaimana aku lirik mengalami kondisi yang muram. Ketika cinta yang diharapkan tidak sesuai dengan ekspektasi. Perkara semacam ini tidak satu dua kali dapat kita jumpai di dunia nyata, banyak sekali bahkan hingga berakhir dalam keputusan yang kurang tepat. Kejadian serupa juga bisa kita jumpai dalam potongan puisi berikut.


Berapi-api bara dalam tungku raga
Tetes air sembab penglihatanku
Bercampur menjadi satu dalam otakku
Melihat akan dikau pergi menghilang
Bukan untuk dia tapi diriku

(Musnah Cinta, hlm 41)

Aku lirik dalam puisi barusan mengalami kondisi yang sama. Bahwa cinta memang seperti pedang dengan dua mata, yang bisa menyeramg lawan sekaligus menyerang balik pada pengguna. Namun yang patut kita perhatikan adalah keputusan selanjutnya yang diambil aku lirik atas kondisi-kondisi tidak menyenangkan itu. Berikut bisa kita perhatikan keputusan yang diambil aku lirik.


Ya Allah
Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Apakah pilihanku untuk mempersunting
Ia untuk sehidup sematiku adalah salah?
Berikan aku petunjuk-Mu

(Berita dari Burung Merpati, hlm 29)


Selesai sudah kisah kasih cintaku yang keluh
Aku hanya bisa mendoakan supaya lekas meninggalkan panggung bersama
Untuk melenggang kepada sang khalik selaku pengadil untuk hubungan

(Kisah Kasih Cintaku yang Keluh 3)

Dari dua potongan puisi di atas kita akan tahu religiusitas aku lirik dalam kemalangan puisi-puisi penyair Sazma. Di sini seolah Tuhan adalah sandaran terakhir terhadap kehidupan-kehidupan malang yang dialami setiap insan. Kurang lebih ini juga stereotipe dengan realitas kehidupan nyata di sekitar kita. Masyarakat yang religius kerap menyandarkan kehidupan yang malang pada Tuhan yang mereka percayai, entah itu berupa doa, atau hanya sekedar pengertian bahwa segala hidup yang sulit hanyalah ujian dari Tuhan agar hambanya dapat naik kelas. Atau sekedar motivasi bahwa segala cobaan yang datang dari tuhan selalu seimbang dengan kekuatan insan. Membaca habis Kisah Kasih Keluh Kukorbankan, kita akan mengarungi kehidupan-kehidupan malang kaum muda yang dipadupadankan dengan religiusitas aku lirik.

Berbicara tentang bentuk dan segala bumbu-bumbu puisi, mungkin kita belum dapat menemukan kebaruan dalam puisi, entah itu tipografi, metafora, dan yang lainnya. Kebanyakan puisi memang bersifat narasi, dan barangkali masih bisa dipadatkan lagi. Menyoal tentang kesubliman dalam puisi barangkali beberapa puisi di Kisah Kasih Keluh Kukorbankan masih belum benar-benar matang. Mengingat penyair kita masih terlalu muda dan perjalanan kepenyairan masih terlalu panjang. Sudah sepatutnya sebagai penyair harus serupa musafir yang dahaga akan rasa puisi, harus mau meminum puisi dari setiap sumber dan dengan kepekaan lidah dapat merasakannya kemudian meraciknya ke dalam puisi sendiri. Paling tidak penyair Sazma adalah sumber mata puisi baru yang harus kita nantikan karya-karya selanjutnya.[]

Kita Pribumi, Harus Berani Berseni di Kota Sendiri

poster soerat adjakan drama kolosal

Fatah Anshori
Kita Pribumi, Harus Berani

Kita masih ingat derita dan keringat
yang melekat pada derap
ribuan pasang sepatu lars,
setelah proklamasi masih ada
yang mati ditembusi butir-butir besi

Dada kami sekali lagi kau lubangi, dengan
20.000 tentara infanteri, ditambah
100.000 pemuda rakyat,
kau jadikan mayat
abadi yang wangi
di kepala-kepala kami

Satu A.W.S. Mallaby katamu
sebagai ganti ribuan mereka
yang kau tembak mati.

Hari ini berani kau ke sini
akan kami lempar tahi
setelah busuk mulutmu kami
sumpali kaos kaki.

*

Kita masih ingat derita dan harapan
-harapan yang purna jadi duka
10 November 1945
kami hsrus menjadi singa-singa

Yang berlari di antara api
dan tangis yang menggumpal di hati
dan kami tidak peduli
30.000 senapan, tank
dan kapal perang kau hadapkan
pada kepala-kepala kami,

Sesekali kami memaki:

Dancuk!!!

Dan bayang-bayang takut mati
jadi tak berarti.

*

Kita masih ingat siapa yang
lebih dulu menyengat,
membuat kepala-kepala kami
mendidih, penuh amuk.

Di hotel oranye itu kau kibarkan
biru di bawah merah putih kami
setelah nyata proklamasi
terpatri di kepala-kepala kami

Harus ada yang direbut kembali
harus berani, kita ucap lagi,
Merdeka,

Merdeka!!!

Tepat
di depan mata kepala mereka!

Bersama Bung Tomo, Hariyono,
dan Koesno Wibowo, kita sengget
biru di bawah putih. Dan tegaskan
Lagi:

Ini Indonesia!!!
Ini Indonesia, bukan Britania Raya
atau Belanda!

Kita Pribumi, harus berani
harus berani,

mengucap dengan gagah
dan tegap:

Merdeka ataoe Mati,
Merdeka ataoe Mati!!!

Lamongan, 2020

Persiapan Sebelum Pentas

Minggu pagi (8/11) tepat pukul 06.00 di Alun-alun Kota Lamongan sebelah selatan, tepat di depan Pemerintah Kota ada pemandangan yang berbeda. Sebuah Hotel Oranje berdiri diantara keduanya, dan jalanan di depannya dipenuhi bambu runcing, kotak-kotak kayu, bambu runcing, gundukan hitam, hingga semuanya seperti menyimpulkan pemandangan yang carut-marut dan akan terjadi sesuatu yang berbeda.

Tidak lama kemudian suara letusan petasan yang kukira suara senapan mulai terdengar di beberapa sudut. Beberapa perempuan dan anak kecil yang sedang jalan-jalan pagi mendadak berteriak, mereka tampak kaget. Namun setelah itu tersenyum, seperti ada perasaan senang di raut wajah mereka.

Tentu saja, pagi itu masyarakat Lamongan dimanjakan oleh pementasan Drama Kolosal yang digagas oleh komunitas Songgolangit Creative Space dan Perpustakaan Jalanan Kanal dan tentu saja dibantu oleh pemuda-pemudi tanah air yang peduli dengan kehidupan seni di Lamongan, yang barangkali tidak terlalu diperhatikan gemanya di tanah air.

Orang-orang yang Menonton Pentas

Namun kedua komunitas tersebut yang berisi pemuda-pemudi yang peduli seni di Lamongan tetap optimis menggelar pementasan drama kolosal di Alun-alun Lamongan untuk memperingati Hari Pahlawan. Hasilnya, setelah Soerat Adjakan dilayangkan melalui story-story WA, Instagram, dan beberapa Media Sosial Lainnya, akhirnya didapatkan 100 orang pemain, 20 orang tim artistik, dan 15 orang tim dokumentasi.

Mulanya Drama Kolosal ini berawal dari keresahan Slamet Niko dan Abdul Fatah Jaelani atas keringnya pementasan teater di Lamongan. Lantas keduanya berniat untuk melakukan sesuatu yang berbeda, sekaligus menunjukkan bahwa kota kecil ini juga bisa melakukan sesuatu yang besar, seperti membuat Drama Kolosal. Akhirnya di awal November niat baik itu disetujui oleh teman-teman lainnya bersama Komunitas Songgolangit Creative Space dan Perpustakaan Jalanan Kanal, mereka memantapkan niat. Dan entah mengapa Allah SWT seperti meridai niat baik mereka, di hari-hari itu cuaca tampak bersahabat dan di hari H cuaca tampak seperti anak yang baik, ia tidak memberikan panas yang keterlaluan yang bisa membakar kepala hingga baju dalammu, tidak ada hujan yang menimbulkan banjir, tidak ada gedung pemkot yang roboh atau terbakar, juga tidak ada tawuran antar penonton yang pro pribumi dan tentara Britania Raya, kecuali hanya tawuran antar pemain karena arahan atau mungkin hasutan Sutradara Kesayangan Warga Lamongan, Slamet Niko dan Abdul Fatah Jaelani.

Selebaran Ultimatum Britania Raya dan Belanda

Tentu saja pementasan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan Tim Artistik yang diketuai oleh Seniman Kesayangan Kita Achmad Afandi dan Tim Dokumentasi yang diketuai oleh Bung Oza, pemuda tampan yang mengaku bangga karena di katakan mirip dengan Bung Jabbar. Dan tentu saja tidak lupa pemuda pemudi tanah air yang tidak bisa saya ketikkan satu persatu nama teman-teman tentu saja alasannya karena pertama kemalasan penulis (oke, kali ini penulis boleh teman-teman salahkan, tapi yakinlah penulis selalu berdoa semoga Allah SWT membalas kebaikan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan di tulisan pendek ini) kedua tentu saja karena waktu seperti dinding besar yang selalu membatasi apa-apa yang menyenangkan. Dan ketiga tentu saja saya ingin lekas menyelesaikan tulisan ini, dan kembali lagi pada bualan Knut Hamsun.

Kemunculan Sekaligus Kematian A.W.S. Mallaby (Jadi-jadian)

Terakhir hanya sebuah doa dan ucapan terimakasih. Doa: semoga segala kebaikan-kebaikan serupa Drama Kolosal ini bisa terus terlaksana setiap tahunnya, semakin bagus dan semakin bagus tentunya. Terimakasih yang tak terhingga: pertama untuk pembaca yang telah membaca bualan saya ini, kedua untuk Sutradara Kesayangan Warga Lamongan, Mas Niko dan Mas Abdul Fatah telah memberi kesempatan penulis untuk menuliskan puisi di awal tulisan yang dibacakan di pementasan barusan. Ketiga untuk teman-teman sekalian telah mengizinkan penulis menjadi bagian dari teman-teman sekalian.

Usai Sesi Foto Bersama Pemuda-pemudi Tanah Air Drama Kolosal

Hampir saja lupa, untuk teman-teman yang terhalang ruang dan waktu tidak bisa menyaksikan pentas barusan, bisa berkunjung ke Instagram: @songgolangitcreativespace. Penulis rasa ini saja cukup. Sekian dan selamat beraktifitas.

—ennui

we chant as the office burns

the journal

things we do to stay sane

Jagat Joni

Selayaknya ingatan, semua bergantung pada sesiapa yang mengingat.

isbapurbo

Alcoholic

Straw Hat Jafar

Valar Morghulis

Pahlate

fascio de commbatimentto

Meucakra

Sekadar berbahasa tentang isi hati

kampungmanisku

menjelajah dunia seni tanpa meninggalkan sains

L.I.A.R

Lamongan Independent Artist Revolution

Mahafatih

karena kuasa kata, di sana aku bertakhta.

Abinaya Ghina Jamela

Mari Bersuara!

poemstoalive

#poemstoalive #hellopoetry #Indonesiapoetry #IndonesiatoEnglishpoetry #poems #wordporn #poetry #poets #penyair #penulis #penerjemahindonesiainggris #penerjemahpuisi #translation #menerjemahkandalambahasainggris #translatorsoon #youngtranslator #Indonesia #Jakarta #Sastra #Puisi #KepadaPuisi

Jamil Massa

Cerita-Cerita-Cerita

Budhi Setyawan

Sinergi Musik dan Sastra