Kematian ‘Makna’ Kata dan Peta Estetika Puitik di Kepala Penyair

:Catatan membaca buka pintu kiri, Afrizal Malna

Kematian Makna Kata dalam Suatu  Bahasa

Entah sejak kapan kita selalu dicekoki bahwa puisi selalu perihal kata atau barangkali lebih tepatnya seputar ‘bahasa’. Seolah-olah media dalam mencipta puisi hanyalah seputar Bahasa. Jika bahasa mati atau tidak ada, puisi tentu saja ikut tiada. Bukankah itu sungguh miris sekali. Seakan-akan puisi tak ubahnya tumbuhan atau benalu yang hidup menumpang di pohon lain. Sehingga puisi sebagai salah satu tumbuhan atau benalu tadi, ia hanya tumbuh ketika ada medium tumbuh bernama ‘pohon lain’ itu ada atau masih hidup. Sementara puisi tentu saja medium tumbuhnya adalah ‘bahasa’. Dan jika medium bernama ‘bahasa’ itu mati atau tidak ada tentu saja puisi yang bernasih serupa ‘benalu’ tadi juga ikut tiada atau mati. Apa benar demikian? jika benar betapa miskin dan menyedihkannya puisi itu, ia tumbuh ditopang oleh adanya benda bernama ‘bahasa’.

Jika menengok ke belakang sejarah perpuisian tanah air kita, puisi sejauh ini hanya seputar kata sementara kita tahu bahwa kata memang lahir dari bahasa yang setiap kata-nya memiliki makna. Setiap kata dalam bahasa memiliki beban makna yang ia pikul masing-masing. Barangkali begitulah satu puisi dilahirkan atau diciptakan, ia disusun dari kumpulan kata, dan dengan tipografi juga makna yang terkandung di dalamnya. Memang jika berbicara makna dalam kata, kita akan bertemu dengan Sutardji Calzoum Bachri, penyair terkenal dengan kredonya tentang pembebasan kata dari makna. Dalam beberapa puisinya, ia mencoba memecah kata menjadi beberapa suku kata atau fonem-fonem yang tak memiliki makna melainkan hanya bunyi-bunyian. Seperti ditunjukkan dalam puisnya yang berjudul Tragedi Winka dan Sihka. Kita akan menemukan puisi yang disusun dengan tipografi sedemikian rupa, membentuk zig-zag dan kata-kata yang terpenggal menjadi fonem-fonem dengan suaranya tersendiri.

Sementara itu dalam buka pintu kiri, Afrizal Malna juga beberapa kali menyinggung makna yang terkandung dalam kata suatu bahasa. Entah kenapa ia seolah terganggu akan makna-makna yang terkandung dalam tiap kata. Ia seolah ingin mencongkel makna yang telah dibungkus oleh kata itu sendiri. Barangkali itu serupa mengeluarkan isi kacang dari kulitnya dan hanya menyisakan kulit saja sebagai benda yang tidak menanggung beban untuk melindungi isi yang ia bungkus. Kata juga seperti itu dalam suatu puisi yang barangkali diinginkan Malna dalam sebagian puisi di buka pintu kiri, tapi ia sama sekali berbeda dengan Sutardji.

Dalam puisi teknoteks: ajisaka kita akan menyaksikan visualisasi ruang oleh gambar, seolah itu benar-benar ruang yang di langit-langit dan lantainya dipenuhi huruf-huruf aksara jawa. Dan di dinding ruang tersebut, terdapat sebuah poster yang seolah tidak menepel pada dinding ruang. Namun dalam dua larik terakhir tertulis: dua pengawal mati/ di depan gerbang Bahasa. Lalu dalam puisi kamus besar bahasa Indonesia, kita akan menemukan puisi yang divisualkan gambar lalu diksi ‘mati’ mengakhiri bebeberapa senyawa kimia. Dan puisi itu diakhiri dengan tiga larik yang seolah menegaskan diksi ‘mati’ dalam Bahasa: dua orang penjaga kamus/ sinonim dan antonim/ tembak-tembakan di dalam toilet. Dan dalam puisi; anonymox aurat kita akan menemukan larik: … koyak/ immaterial bahasa/ tinggalkan makna/ di luar batu nisanmu. Sementara dalam puisi; glitchtext, kita akan menemukan visualisasi atas kaleng kerupuk lalu di kaca kaleng tertulis ‘MAKNA Coret’ lalu dilanjutkan dengan gambar kamera yang membelakangi tanda silang kemudian di bawahnya tertulis ‘MAKAN’. Tapi tidak berhenti di situ, puisi ini berlanjut dengan larik-larik puisi dengan layout dua kolom. Yang mana seolah puisi ini adalah pertanyaan serius sekaligus humor yang diselipkan secara samar. Ia adalah pertanyaan tentang menghapus makna dalam kata. Apakah kata-kata bisa keluar dari beban memikul makna, dan peryataan bahwa kata seolah terbebani oleh adanya makna yang terkandung dalam tubuhnya. Apakah kata-kata bisa terbebas dari makna kata itu sendiri. Jawabnya ternyata sangat mudah dan seolah menyentil kita yang terlalu serius menjadi manusia dalam menyikapi permasalahan duniawi. Ia menjawab: bisa. cukup coret kata itu …  lantas kita akan menemukan diksi ‘(makna)’ tercoret oleh tanda silang.

Di sini bahasa dikatakan sebagai benda immaterial, namun ia kerap kali ditunggangi. Karena kata-kata memiliki makna. Kerap sekali dimanfaatkan untuk menciptakan kepercayaan-kepercayaan yang dipaksakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk menyihir pikiran banyak orang. Ia seolah menjadi alat yang tidak terlihat dalam menyampaikan kehendak-kehendak atau kepentingan-kepentingan pribadi, sehingga keyakinan tidak tumbuh secara alami dalam setiap diri. Ada suatu politik bahasa yang terkandung dalam kata. Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa larik terakhir dalam puisi glitchtext berikut; apakah kamu bisa memotret sebuah/ “kepercayaan” yang menggunakan/ bahasa jadi berbusa-busa, menyihir/ pikiranmu. Membuatmu tidak bisa/ mengalami bagaimana “keyakinan”/ tumbuh sebagaimana kamu meng-/ hayati alam sebagai proses saintis yang/ puitis, tidak dogmatis. Coretlah karya ini/ sesukamu, katakanlah sebagai sebuah/ main-main untuk melumerkan otoritas/ makna dari politik bahasa di sekitarmu.

Dalam hal ini Malna tentu saja berbeda dengan Sutardji meski keduanya mempersoalkan makna kata dalam bahasa. Dalam puisinya, Malna masih menggunakan kata yang menanggung adanya makna sebagaimana fungsi kegunaannya, untuk menyampaikan imaji, perasaan dan pikiran penyair atau aku lirik dalam setiap narasi puisi-puisinya. Sementara Sutardji memilih untuk segera melakukan apa yang ia yakini, seperti dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka.

Perkara Isi, Imaji dan Visual Puisi

Dalam buka pintu kiri kita akan mendapati bagaimana Malna memandang puisi. Ia melakukan percobaan yang begitu beragam mulai dari bentuk (tipografi), atau wujud (produk) dari puisi itu sendiri. Atau barangkali Malna telah melampaui batasan-batasan yang mengurung sesuatu itu dikatakan puisi harus dengan syarat yang telah ditentukan. Namun di buka pintu kiri Malna seakan telah mencari ranah baru puisi yang dijangkau oleh dirinya sendiri, seperti seorang pengembara yang telah ribuan tahun berjalan, ia telah menemukan kawasan-kawasan baru yang hanya bisa dilihat oleh dirinya seorang. Sehingga jika usahanya dalam mencari bentuk-bentuk baru akan puisi ini bukan lagi pantas untuk disebut sebagai suatu percobaan. Malna barangkali telah menemukan puisi dalam bentuk lain yang belum terjamah oleh estetika puitik di kepala penyair kebanyakan.

Dalam hal tipografi, kita akan menemukan layout puisi yang beragam dari bentuk bait-bait yang biasa, hanya satu kolom dalam satu halaman hingga puisi dengan bentukan yang  tidak lazim dan memiliki dua kolom dalam satu halaman. Seperti ditunjukkan dalam puisi berjudul link: https://youtube.be/C8n2Frual8k puisi dan krikil di tokyo, sepasang burung camar, dan der platz. Mereka memiliki bentuk tipografi yang demikian.

Jika mengamati hampir kebanyakan puisi dalam buka pintu kiri Malna tampak memberdayakan atau barangkali mengeksploitasi apapun di luar kata itu sendiri, seolah kata dengan metafor dan pemilihan diksi tidaklah cukup untuk menyebut makhluk bernama ‘puisi’ di kepala Malna, seperti yang tampak pada beberapa puisi di buka pintu kiri. Kita akan mendapati penggunaan tanda baca dan beberapa gambar simbol yang bertebaran di mana-mana, seperti dalam puisi berjudul kematian tanda baca kita akan menemukan simbol emoticon yang terselip di tengah-tengah puisi. Atau dalam puisi diagram 2 batas jenuh atas alfabet kita juga menemukan symbol playlist.

Sementara dalam puisi algoritma snowden kita akan menemukan permainan tipografi dan font size akan alfabet tanda baca dan angka. Dalam hal ini Malna seakan-akan memandang puisi menjadi isi puisi dan rupa yang tervisualkan dalam lembar kertas berukuran A5, barangkali Malna telah memikirkan hingga sejauh itu. Tidak hanya kata-kata yang terjalin membentuk imaji dan isi puisi yang tersampaikan di kepala pembaca namun bentuk visual cetak satu puisi itu dalam media kertas berukuran 14 x 20 cm. Barangkali ini akan berbeda lagi jika Malna mencipta puisi pada suatu tembok berukuran 5 x 2 meter misalnya.

Sementara dalam hal tipografi dan makna kata, sebagaimana dilakukan Sutardji dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka yang mencoba memotong-motong kata menjadi fonem-fonem yang hanya memiliki bunyi kata atau alfabet ditunjukkan Malna dalam puisi link: https://youtu.be/B6QO6Uv91pg blackboard kita akan menemukan bentukan puisi yang disusun dari kata ‘kebohongan’ yang dipecah-pecah menjadi beberapa fonem dan dengan tipografi yang sedemikian rupa, memanjang hingga tiga halaman. Seolah-olah menunjukkan bahwa Tragedi Winka dan Sihka hanya yang dilakukan Sutardji hanya perkara serupa memandangi daun kering yang gugur dari ranting ketika tertiup angin, hal yang biasa saja dan tidak perlu tercengang hingga berlarut-larut. Ia hanya perkara yang lewat begitu saja. Tak cukup mampu untuk menculik sedikit saja ruang di kepala kita untuk menjadikannya kesan atau kenangan.

Peta Estetika di Kepala Penyair

Pada akhirnya membaca buka pintu kiri kita akan menemukan sekaligus menyelami apa itu puisi dalam kepala Malna. Kita akan menjumpai puisi yang disusun dari kata dan bahasa dengan imbuhan tanda baca yang bertebaran di mana-mana seolah ia berfungsi sebagai dekorasi ruang puisi, juga gaya tampilan yakni tipografi tadi, yang jika diibaratkan puisi itu sebagai manusia, Malna mencoba memberinya pakaian yang tidak lazim di pakai manusia pada umumnya, ia tidak melihat trend gaya berpakaian atau budaya masyarakat. Namun hal semacam itulah yang membedakan puisi-puisi Malna dengan penyair lain.

Bahkan kita juga akan menjumpai puisi yang barangkali lebih mirip disebut prosa ketimbang puisi itu sendiri. Ia serupa cerita yang panjang konkrit dan memiliki alur yang jelas hanya saja dalam puisi itu seolah ada suatu maksud lain yang tersirat dan sembunyi dibalik makna cerita itu sendiri. Seperti terjadi pada puisi papan tulis tak berwarna, juga dalam puisi perpisahan bapak dan anak dalam dunia seni lukis. Dua puisi tersebut barangkali serupa prosa ia gamblang menunjukkan adanya tokoh, adegan, alur, juga setting. Namun entah kenapa dalam puisi berbentuk prosa itu seolah ada suatu rasa puitik tersendiri yang barangkali Malna memasukkannya sebagai puisi ketimbang prosa.

Juga yang tidak jarang kita jumpai dalam puisi-puisi buka pintu kiri  adalah puisi yang tidak tersusun dari kata, fonem atau aksara melainkan gambar, foto, ilustrasi, symbol, bangun persegi bahkan bagan struktural organisasi di mata Malna barangkali juga adalah puisi. Jika fenomena ini kita hadapkan dengan kondisi sosial masyarakat, tentu saja puisi-puisi Malna telah melakukan penyimpangan sosial dari lazimnya bentuk dan wujud puisi. Dan sewajarnya ada dua kemungkinan yang terjadi, sebagaimana orang-orang yang melakukan penyimpangan sosial. Pertama dikucilkan kedua pembaharu atau inovasi. Puisi-puisi Malna sekiranya juga sama, ia bisa mendapatkan kesan pengucilan atau pembaharu, jika memang apa yang terjadi pada puisi-puisi Malna bisa diterima oleh khalayak pembaca puisi.

Boleh jadi puisi-puisi dalam buku buka pintu kiri adalah suatu bentuk kejenuhan Malna akan kata berikut maknanya. Sehingga ia ingin memunculkan suatu bentuk baru yang menyimpang namun di mata seorang pengelana, ia tidak lain adalah puisi sebagaiamana puisi pada pengertian yang menempel di kepala banyak orang. Hanya saja daya jangkau atau daya kelana Malna terhadap esensi puisi lebih jauh dan tak tergapai oleh pembaca puisi, hari-hari ini.

Membaca buka pintu kiri seolah melihat penyair yang asyik dengan dunia estetiknya sendiri. Penyair melakukan apa yang ia mau, berlarian ke sana kemari menembus pagar, kavling, teritori, yang telah ditetapkan, untuk mendapati hal-hal baru yang tidak semua orang mampu lihat sembari menikmati apa yang janggal itu. Kita boleh menghujat semua ini gila, apa-apaan, tidak masuk akal, tapi apa berartinya hujatan itu jika penyair telah asyik masyuk dengan dunia yang sedang ia selami sedalam-dalamnya, menuju ruang-ruang lain, antah berantah, sembari melukis peta estetika di kepala si penyair sendiri.[]

Lamongan, 8 November 2021

Kebahagiaan dalam Omong Kosong Kaum Muda Kontemporer

Robby Julianda, entahlah aku sedikit lupa bagaimana dan kapan pertama kali mengenal namanya. Sebelum menyinggung buku keduanya, aku ingin mengenang sedikit tentang apa-apa yang kutahu darinya. Entahlah aku juga ragu telah mengenal namanya dari Dio, namun jika kalian membaca habis In Limbo—web yang menampung apa-apa yang Robby tulis—kalian akan menemukan sebuah resensi 24 Jam Bersama Gaspar yang ditulis secara ganjil namun menyenangkan. Ia menulis resensi tidak dalam bentuk umumnya resensi, seperti yang kebanyakan orang pernah lakukan di Koran-koran, atau di web-web yang menerima tulisan semacam resensi. Sebagaimana saya yang papa kreatifitas ini tahu resensi selalu menyuguhkan data buku: jumlah halaman, ukuran buku, cetakan, dan segala tetek bengek yang membosankan. Robby membuat resensi itu tampak seperti sebuah cerita ringan yang asyik, tampak seperti orang main-main, namun seluruh kandungan buku kelebihan dan kekurangannya mampu Robby paparkan. Inilah kenapa aku selalu berpikir menulis fiksi itu lebih sulit dari pada menulis non-fiksi—mungkin dalam kesempatan lain aku akan menulis secara utuh hipotesis itu dalam bentuk esai utuh.

Resensi yang dibungkus cerita fiksi itu mungkin menjadi tulisan pertama Robby yang kubaca dan sekaligus berhasil membuatku misuh. Mulai dari situ, kedengkianku terhadap Robby memuncak. Rasa penasaranku terhadap tulisan-tulisan Robby semakin tak terbendung, sehingga aku membaca habis In Limbo dan mengimani bahwa, Robby tak akan mengecewakan kita jika mau membeli buku-bukunya.

Dalam membaca In Limbo kalian akan menemukan apa saja yang Robby tulis. Sekilas mungkin akan terkesan receh. Ia menulis jurnal tentang pertemuannya dengan Lennon, catatan usai menyimak film, catatan usai membaca buku, menerjemahkan beberapa cerpen penulis manca Negara, dan sesekali menulis cerpen-cerpennya sendiri. Salah satu cerpennya yang pernah dimuat Tempo, Pilihan Ganda dari Tuhan juga ia cantumkan di sana. Jika kalian sabar dan mau membaca tulisan-tulisan Robby dalam In Limbo, kalian akan mengerti apa yang telah dilakukan Robby tidaklah receh. Dan secara tidak sadar kita telah melihat laboratorium menulis Robby.

Penulis asal Nagari Sunga Landia, Kabupaten Agam Sumatera Barat, yang lahir pada tahun 1991 itu seolah akan menununjukkan apa yang ia bisa dalam novela, sekaligus buku keduanya, Omong Kosong yang Menyenangkan. Sebelum ini Robby juga menerbitkan noveletnya yang berjudul Menunggu Minggu Pagi, diterbitkan Basabasi. Namun kali ini kita akan mencoba berbicara sebanyak mungkin terkait Omong Kosong yang Menyenangkan.

Mulanya aku tidak mengerti apa kaitan antara ilustrasi cover berupa kaleng sardines dengan Omong Kosong yang Menyenangkan. Seolah dua hal itu sama sekali tak ada kaitannya, tapi sebenarnya juga tidak terlalu penting ilustrasi itu ada kaitannya atau tidak. Syukur-syukur kalau keduanya memiliki kaitan, atau paling tidak dapat mewakili seluruh isi buku. Namun jika tidak, Kaleng Sardines itu menurutku sudah berhasil dalam dua hal yang pertama, memantik rasa penasaranku. Kedua memuaskan estetikaku yang receh terhadap visualisasi sampul buku.
Membaca kalimat pertama novelet ini segera mengingatkanku pada dua orang. Yang pertama Dea Anugrah, kedua Sabda Armandio. Keduanya kerap membuatku pesimis untuk menekuni profesi menulis. Di kalimat pertama Omong Kosong yang Menyenangkan. Kita akan mengetahui bahwa Robby tidak asal-asalan menaruh kalimat, entah berapa lama ia berpikir hingga menemukan kalimat seperti ini:

Cerita ini akan berakhir dalam delapan jam ke depan, 168 kilometer dari sebuah warung pinggir jalan, tempat di mana Sal dan Lani membeli dua kaleng minuman bersoda sebelum mereka berpisah. (hlm. 1)

Dari kalimat itu aku sedikit mengerti bagaimana Robby mencoba membuat repetisi yang entah mengapa memiliki keraguan, bagaimana mungkin cerita ini dapat berakhir dalam delapan jam. Dan yang kedua bagaiamana Robby menyebut setting tempat yang kelewat cerdas, dan jujur membuatku sejenak berpkir apa yang sedang ingin ia kerjakan, menciptakan humor atau menunjukkan beginilah seni dalam membual agar aku tidak merasa tegang sejak awal. Ia menyuguhkan sesuatu yang berbeda.

Selanjutnya Robby juga kerap melakukan apa yang orang-orang sekarang lakukan. Dan jika memang menulis yang baikyang kerap beberapa penulis besar lakukan—yakni menulis tentang dirimu dan masamu, menurutku Robby telah fasih melakukannya. Ia kerap menyebut beberapa barang yang kita kenal, sebungkus rokok Lucky Strike, minuman bersoda, dan benda-benda elektronik lain yang tidak mungkin beberapa tahun lampau orang-orang tahu. Entah kenapa aku yakin seperti itulah sastra bekerja, menulis barang atau benda-benda semisal sebungkus Lucky Strike, laptop dan smartphone, akan memantik kita untuk memikirkan banyak hal salah satunya pertanda waktu dan kebudayaan yang sedang berlangsung.

Dalam beberapa kesempatan Robby kerap menyebut nama-nama orang asing, judul lagu, genre film, dan beberapa istilah asing yang belum banyak kukenal. Esha menyebut semua itu adalah semacam intertekstual, yakni keterkaitan satu karya dengan karya lain, dengan menyinggunnya secara sekilas saja. Hal ini entah kenapa seakan-akan menunjukkan kapasitas pengetahuan penulis, karakter dan kepribadian penulis. Mungkin ini juga semacam alusi, suatu metafora yang hanya Robby dan beberapa orang saja yang tahu, sehingga itu membuat orang-orang sepertiku yang awam ini akan terpancing untuk mencari tahu.

Kelebihan lainnya yakni Point of View (POV) yang Robby gunanakan dalam novela ini rasanya juga cukup menarik. Dari sudut pandan orang ketiga serba tahu dan dalam lingkup narator boleh masuk ke dalam isi kepala Sal. Aku merasa gaya bercerita dalam lingkup semacam itu menyuguhkan beberapa kesulitan juga kemudahan. Kesulitannya, sebisa mungkin kita harus menjaga godaan untuk memasuki isi kepala tokoh lain. Tapi bentuk seperti itu juga ada setahuku. Yang semacam itu, gaya bercerita yang bebas memasuki kepala setiap tokohnya, namun sejauh aku membaca aku belum menjumpai cerita yang semacam itu. Kemudahannya tentu saja penggambaran lingkunangan atau suasana yang lebih bebas dan terlepas dari suara tokoh Sal.

Keseluruhan cerita ini tentu saja tidak mungkin aku paparkan semuanya di sini. Namun ada beberapa hal yang entah kenapa aku merasa ada kemiripan antara Sal, Lani dan kaum muda kontemporer. Sal dan Lani mungkin juga representasi dari kebanyakan kaum muda masa kini yang tercerabut dari masyarakat, dari kehidupan sosial khususnya kearifan lokal. Mereka sama sekali gagap dengan semuanya namun dalam novela ini seakan-akan kita tidak bisa dengan serta merta melepaskan diri dari tetek bengek urusan masyarakat. Seperti dicontohkan dalam salah satu adegan bahwa Anwar membutuhkan Sal dalam menyelesaikan urusan tanah makam ibunya yang akan segera digusur pemerintah. Sementara Lani kerap memikirkan kecemasannya terhadap tato di bagian tubuhnya yang telah dilihat oleh kolega kerjanya, yang seakan-akan selalu memandangnya dengan sebelah mata. Aku merasa semua itu adalah bentuk dari ketidakmampuan kaum muda melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat. Semasa bodoh apapun kita terhadap kehidupan bermasyarakat pada suatu saat atau jauh dalam hati, kita kerap menyimpan kecemasan dan ketakutan-ketakutan tertentu, yang mau tidak mau menuntut untuk kita hadapi sebagai sebuah sikap kemanusiaan.

Di samping itu Robby dalam Omong Kosong yang Menyenangkan juga kerap menyinggung apa yang sedang dihadapi oleh pemuda lulus kuliah. Tidak lain adalah tentang kebahagian, bagaimana menjalani hidup yang ideal, pencarian jati diri. Ini ditunjukkan oleh kebimbangan Sal untuk mengambil keputusan sebagai seorang lulusan sarjana. Bahkan ia mempertaruhkan semuanya kepada petanda langit, seperti mendung, gemuruh badai, kilatan petir, bahkan hingga sebauh pesawat melintas. Jika ada salah satu dari sekian itu Sal akan berani memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan untuk kehidupannya di masa selanjutnya. Tidak jarang Robby juga berusaha menertawai kebahagiaan seperti dalam kalimat berikut:

Orang yang gemar memikirkan definisi kebahagiaan, jelas orang yang paling menyedihkan di dunia. Lebih menyedihkan dari sepasang kaus kaki yang sudah tak pernah terpakai lagi. (hlm. 38)

Dan sebagaimana omong kosong, semenyakitkan apapun ia memukul kita. Itu hanyalah pukulan-pukulan yang menuntut agar kita turut bahagia, dan turut menertawai kegagapan kita dalam menghadapi kehidupan.[]

*) Catatan membaca Omong Kosong yang Menyenangkan, Robby Julianda

setibanya di bioskop

Di pertigaan Surabayan mataku seperti kehilangan. Aku membaca apa yang ada di sana sebagai petanda: ke mana lagi aku mencari usai basa-basi, dua hari ini telah pergi. Lalu-lalang kendaraan, suara pluit kereta, dan aroma karet yang terbakar di semak-semak sebelah toko loak seperti benang-benang halus yang membuat kurus usahaku meniadakanmu: tidak mudah seperti meludah.

Setibanya di bioskop kami melihat mereka berjalan dengan tubuh-tubuh yang rawan. Kaki-kaki yang hanya berjalan ke depan, di kedai makanan mereka menitipkan ingatan, menggantinya dengan karcis-karcis kadaluarsa. Meski kita kerap percaya pada mereka—kaca jendela yang diam saja, pidato penguasa saat upacara di depan istana. Lalu kepala-kepala itu mulai rimbun, tangan dan kaki bergerak tak sesuai hati, lalu seperti ada yang mati: merambati diri yang kerap ditekuk sepi.

Caling, 2019

All The Time_The S.I.G.I.T

[Intro]

Bm G A (6x)

[Verse]

Bm G A
I wanna live forever
Bm G A
Whom you realize forever means together

Bm
I hope you know
G
When you say it wasn’t over
A
For the third times
Bm
I hope you know
G
You make me wanna give me something
A
More and more

[Chorus]

D F#m
I.. wanna give you hold
G
All the time
A
And wear you robe
F#m
It’s just
G
for the pooring rain
F#m
That Never End
G A
All The Time (my life is raining all the time)

[Interlude]

Bm G A (4x)

[Verse]

Bm G A
I wanna live forever
Bm
Im the oak tree
G A
Forever scar the stranger

Bm
I wanna grow my hair and nails
G A
You up my life
Bm
I hope to do change your last name
G A
And be a wife

[Chorus]

D F#m
I.. wanna share my lungs
G
All the time
A
It’s face the sun
F#m
It’s just
G
Like a burning pain
F#m
That i be alone
G A
All The Time (my life is raining all the time)

[Outro]

Bm G A (7x)

____

I wanna live forever
Whom you realize forever means together

I hope you know
When you say it wasn’t over
For the third times
I hope you know
You make me wanna give me something
More and more

I.. wanna give you hold
All the time
And wear you robe
It’s just
for the pooring rain
That Never End
All The Time (my life is raining all the time)

I wanna live forever
Im the oak tree
Forever scar the stranger

I wanna grow my hair and nails
You up my life
I hope to do change your last name
And be a wife

I.. wanna share my lungs
All the time
It’s face the sun
It’s just
Like a burning pain
That i be alone
All The Time (my life is raining all the time)

Terjemahan:

Saya ingin hidup selamanya
Yang Anda sadari selamanya berarti bersama

Aku harap kamu tahu
Ketika Anda mengatakan itu belum berakhir
Untuk ketiga kalinya
Aku harap kamu tahu
Anda membuat saya ingin memberi saya sesuatu
Lebih dan lebih

Saya .. ingin memberi Anda pegangan
Sepanjang waktu
Dan kenakan jubahmu
Hanya saja
untuk hujan yang buruk
Itu tidak pernah berakhir
Sepanjang waktu (hidupku hujan sepanjang waktu)

Saya ingin hidup selamanya
Saya pohon ek
Selamanya bekas luka orang asing

Saya ingin menumbuhkan rambut dan kuku saya
Kamu hidupku
Saya berharap bisa mengubah nama belakangmu
Dan jadilah istri

Saya .. ingin berbagi paru-paru saya
Sepanjang waktu
Itu menghadap matahari
Hanya saja
Seperti rasa sakit yang membakar
Bahwa aku sendirian
Sepanjang waktu (hidupku hujan sepanjang waktu)

Apresiasi & Proses Kreatif Menulis Puisi, Soni Farid Maulana

Sejauh yang saya tahu atau alami membaca puisi tidak seperti membaca opini, berita, novel, atau jenis-jenis lainnya. Jika tidak terbiasa mungkin kita akan lekas pergi dan meninggalkan puisi-puisi yang kita baca. Kadang saya merasa membaca puisi hampir sama dengan pengalaman spiritual, butuh kekhusukan dan penjiwaan.

Dalam buku Soni Farid Maulana, ini kita akan mengetahui seluk-beluk puisi. Sebenarnya saya menemukan buku ini secara tidak sengaja terselip di rak sastra Perpustakaan Daerah Lamongan. Kadang saya berasumsi bahwa perjumpaan saya dengan buku, memang sudah ditakdirkan oleh Yang Di Atas. Sebab saya menemukan buku ini memang ketika saya ingin tahu lebih banyak tentang isi-isi puisi.

Sebelumnya saya tidak pernah mendengar nama Soni Farid Maulana, boleh dikatakan saya sangat asing dengan nama itu. Namun bagaimanapun saya harus berterima kasih banyak pada beliau, karenanya saya dapat mengerti sedikit lebih banyak tentang isi-isi puisi.

Sebenarnya buku ini semacam kritik umum yang ditulis untuk masyarakat umum yang mencintai sastra utamanya puisis, sehingga bahasa yang digunakan juga sangat sederhana dan mudah dipahami. Menurut saya buku ini sangat cocok bagi para otodidak yang ingin mengerti lebih banyak tentang puisi. Bagaimana pertamakali puisi dituliskan dan apa nama bentuk-bentuk kalimat yang menjadi larik-larik puisi.

Dalam menulis puisi dibutuhkan imajinasi, disebutkan didalam buku ini bahwa imajinasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam merealisasikan gagasan, ide, maupun perasaan estetik yang ditulis dalam karya sastra. Saya merasakan imajinasi merupakan unsur yang tidak bisa dilupakan, imajinasi kerap membantu saya menemukan tempat-tempat baru, semacam utopia atau distopia. Mungkin bentuk-bentuk semacam ini bisa kita temukan di sebagian besar puisi Afrizal Malna, bahkan juga di cerpen-cerpennya.

Di buku ini Soni Farid Maulana juga mengenalkan berbagai nama yang turut mempengaruhi perkembangan puisi di tanah air, semisal Amir Hamzah, Chairil Anwar yang juga banyak mempengaruhi Soni dalam kiprah kepenyairannya. Diakui oleh Soni puisinya yang berjudul Kamar dan Di Pemakaman banyak terpengaruh oleh gaya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Ada juga W.S. Rendra yang mengaku puisi lahir dari pengalaman yang dihayati, Wing Kardjo yang juga pernah menulis haiku, beliau juga menggarap puisi dari berbagai tema dan variasinya. Ada pula Saini KM dengan Mawar Merah-nya, buku kumpulan puisi pertama dan terakhirnya. Saya tidak mengerti banyak tentang Saini KM hanya saja di buku ini ia begitu banyak mendapat penghargaan kepenulisan. Ia tidak hanya menulis puisi tetapi juga cerpen, naskah drama, dan esai.

Kemudian di dalam puisi ada pula Gerakan Puisi Mbeling yang dipopulerkan oleh Remy Sylado. Puisi Mbeling atau juga Puisi Nakal ini diberikan tempat dalam majalah Aktuil pada tahun 1972-1973, dikatakan konsep estetik dari puisi ini adalah pemberontakan terhadap rezim Orde Baru yang feodal dan munafik pada satu sisi, dan pada sisi lain pemberontakan terhadap arus besar puisi lirik seperti yang banyak dijumpai dalam majalah sastra Horison. Meskipun seperti itu dalam penulisan puisi Mbeling bahasa harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku, begitu kata Remy Sylado.

Masih banyak nama-nama lain yang dibahas Soni Farid Maulana dalam buku ini, termasuk Arifin C. Noer yang mungkin lebih kita kenal karena naskah dramanya dibalik itu puisi-puisi yang ia tulis juga tak kalah indahnya. Oka Rusmini, Acep Zamzam Noer, Sinta Ridwan. Pada dasarnya setiap penyair mempunyai gayanya masing-masing.

Pada akhirnya membaca buku ini seperti telah membuka lebar mata saya, bahwa penyair di tanah air ini begitu banyak, menulis puisi tidak hanya menulis puisi ada kaidah-kaidah yang harus diikuti dari tradisi kepenyairan tanah air, meski pada akhirnya tugas penyair adalah menemukan gaya ungkapnya sendiri dan membuat khasanah puisi tanah air semakin kaya. Namun saya menyadari untuk mencapai level tersebut kita harus mendaki level-level dibawahnya, sebagaimana kita tidak mungkin berada dilantai 3 tanpa melewati lantai 2. Sebagaimana kita tidak bisa merangkai kata sebelum hafal abjad. Semuanya harus melalui tahap-tahapnya. Entah berapa lama mencapai titik itu saya saya sendiri tidak tahu. Tapi berkat buku ini saya merasa apa yang saya kerjakan selama ini sudah berada dalam jalur yang benar.

Perawan Cantik yang Terlelap, Yasunari Kawabata

Ini adalah buku ketiga Kawabata yang saya baca. Dan sekaligus menjadi buku pertama yang saya selesaikan di tahun 2018 beberapa hari yang lalu. Perjalanan saya membaca Kawabata boleh dikatakan secara kebetulan dan tidak menurut pada peta membaca yang biasa ditulis oleh penulis-penulis besar. Namun sesuai niatan awal saya membaca kesusastraan luar adalah dengan niatan, bagaimana saya harus bisa menikmatinya sekaligus mencuri teknik-teknik menulisnya sebanyak mungkin.

Saya mengatakan kenapa harus menikmatinya tentu saja dengan suatu alasan. Menikmati kesusastraan luar bagi saya adalah berkunjung ke suatu tempat yang asing, memasuki lorong-lorong gelap, terperosok ke tempat-tempat surealis sebab dalam lingkup keseharian, kita tak pernah mendapat gambaran tentang hal-hal yang kita temui di dalam kesusastraan tersebut. Sangat berbeda dengan kesusastraan kita, paling tidak kita pernah mendengar setting yang digunakan, kearifan lokal, termasuk beberapa mitologi yang diangkat kembali. Kita kerap melihat penjajahan bangsa lain, cerita tentang kerajaan-kerajaan Jawa, atau budaya-budaya yang masih melekat di daerah-daerah kita. Kepercayaan terhadap pohon, konflik agama, atau yang paling memuakkan kisah cinta anak SMA yang dibalut dengan sangat membosankan dan tampak tidak kreatif sama sekali.

Pertama kali membaca kesusastraan luar, saya berkenalan dengan Carlos Fuentes. Dengan novel atau mungkin lebih tepat disebut noveletnya Aurora, saya rasa ia berhasil membuat saya masuk ke dunia yang amat sangat asing, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan tidak bisa saya jawab. Saya seperti masuk ke rumah yang gelap di tengah malam melihat kamar atau ruang-ruangnya dengan cara meraba dan hanya mendengar suara yang juga tidak jelas. Kurang lebih begitulah saya dituntut untuk menggambarkannya.

Begitu juga dengan Yasunari Kawabata, di buku pertamanya yang saya baca, saya sama sekali tidak menemukan apapun barangkali juga tidak bisa menikmatinya. Namun semuanya itu berubah setelah buku ketiganya—Perawan Cantik yang Terlelap—saya baca. Menyenangkan sekali, saya seolah baru saja melihat keindahan kupu-kupu dengan amat sangat detail dan juga menikmati keindahannya saat mengepakkan sayap. Telur di kepala saya seolah pecah dan sangat ikhlas mengakui, Yasunari Kawabata memang pantas meraih Nobel Sastra pada tahun 1968.

Di Novelnya, Perawan Cantik yang Terlelap menurut saya tema yang diangkat Kawabata hampir sama dengan Deru Gunung masih seputar percintaan lelaki tua dan perempuan muda. Namun yang membedakan keduanya barangkali adalah teknik menulisnya, di Deru Gunung mungkin Kawabata lebih bereksperimen dengan plot atau alur cerita yang lebih kompleks, ia membuat alur cerita yang berkelindan ke luar, tidak hanya seputar kehidupan rumah tangga dimana Shingo tinggal.

Sementara di Perawan Cantik yang Terlelap, Kawabata seolah hanya bermain dalam sedikit tempat, Rumah yang menyediakan perawan-perawan cantik dan kenangan. Namun sebagaimana seoarang master, Kawabata menunjukkan cerita yang tidak membosankan dan tetap enak dibaca hingga akhir. Ia menurut saya lebih banyak menggunakan teknik show dari pada tell sehingga dengan amat jelas kita bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh perempuan cantik yang ingin ditunjukkan oleh Kawabata. Sehingga saya rasa ia menunjukkan dengan jelas setiap perempuan yang ditiduri si tua Eguchi.

Namun dibalik novel yang tampak vulgar, Kawabata seperti ingin mengajak kita untuk kembali menyelami apa itu esensi cinta bagi seorang kakek-kakek. Terakhir seperti biasanya saya tak mungkin menceritakan secara gamblang ceritanya dari awal hingga akhir. Lebih baik anda baca sendiri bukunya biar lebih berkesan dan tampak keren karena membaca memang pada dasarnya pangkal keren, percayalah.

Deru Gunung, Yasunari Kawabata

Deru Gunung, gelora cinta usia senja. Novel Kawabata ini diterjemahkan oleh Nurul Hanafi dari versi Bahasa Inggrisnya, The Sound of the Mountain yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1954. Seperti kata M Aan Mansyur dalam Kata Pengantar yang ia berikan untuk buku ini, bahwa membaca Deru Gunung adalah melakukan perjalanan yang membosankan dan menyenangkan, menyakitkan dan indah, menyedihkan dan berwarna-warni, sederhana dan penuh rahasia, singkat dan tak berujung. Secara keseluruhan saya agak setuju dengan apa yang dikatakan M. Aan Mansyur.

Deru Gunung adalah buku kedua Kawabata yang saya baca di tahun 2017. Di buku pertamanya yang saya baca, Ceritacerita Telapak Tangan yang merupakan kumpulan cerpen-cerpennya, saya tidak menaruh banyak ketertarikan pada tulisan-tulisan Kawabata. Saya merasa ia sama saja dengan penulis-penulis lain yang tidak memiliki karakter kuat yang bukunya saya baca kemudian selesai, tidak mengusik dan meninggalkan bekas di kepala saya, dan seiring berjalannya waktu saya lupa begitu saja pada Kawabata dan tulisan-tulisannya. Atau sangat mungkin itu juga karena ketololan dan kekurangtajaman saya dalam memerhatikan karya sastra sehingga saya menganggap Kawabata biasa-biasa saja, saat membaca Ceritacerita Telapak Tangan di buku tersebut saya merasa beberapa cerita tampak mengambang dan samar-samar. Sama sekali berbeda dengan pengalaman membaca Norwegian Wood, Haruki Murakami.

Apa yang Murakami ceritakan tampak jelas sebagaimana sebuah film, seolah tidak ada hal yang sublim di dalamnya. Meski Murakami dalam Norwegian Wood tampak menggunakan tokoh-tokoh yang saya rasa abnormal, sedang mengalami gangguan psikologis sehingga sangat menyimpang dari kebiasaan tokoh manusia pada umumnya. Keganjilan atau penyimpangan-penyimpangan semacam itu mungkin secara tidak sadar telah membuat saya memberi perhatian yang lebih pada Murakami dan membuat namanya seperti terpatri dalam ingatan saya. Sebagaimana kita tahu beberapa guru di sekolah kita pernah mengatakannya, untuk menjadi murid yang selalu diingat para guru jadilah yang paling pintar atau yang paling bengal, jangan pernah jadi yang setengah-setengah. Mungkin semacam itulah yang dilakukan Murakami.

Sangat berbeda dengan Kawabata di novel Deru Gunung kalian akan menemukan perjalanan yang membosankan sekaligus menyenangkan. Kita akan menemui kejadian sehari-hari yang tampak biasa-biasa saja. Menyaksikan seorang kakek berbicara dengan anggota keluarganya, mengamati pohon, percakapan di kereta api saat berangkat kerja, atau seorang kakek yang mampir belanja bahan masakan saat pulang kerja. Sebelumnya saya merasa hal itu merupakan kejadian biasa-biasa saja, sebelum saya sadar bahwa didalamnya seperti ada yang berbeda diantara kewajaran yang kerap kita jumpai dalam keseharian kita.

Sebagai otodidak saya tidak begitu banyak mengerti tentang perihal-perihal kecil di dalam novel, teknik menulis, gaya kepenulisan, atau unsur-unsur lain yang membuat sebuah cerita itu tampak bagus dan pantas dikatakan sebagai sebuah karya sastra. Saya hanya mencoba meniru apa yang dilakukan penulis-penulis itu didalam karyanya, kadang memodifikasinya menjadi sebuah cerita baru, memotong-motong adegan kedalam cerita baru, atau berusaha memerhatikan hal-hal kecil seperti jenis pohon, budaya lokal di mana cerita berlangsung. Di Deru Gunung, Kawabata seakan mengumbar psikologis tokohnya, menceritakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokohnya. Membuat narasi-narasi dari perasaan dan pikiran seorang tokoh mungkin adalah sebuah teknik tersendiri, yang saya rasa sangat tidak mudah untuk dilakukan jika tidak terbiasa. Dan Kawabata melakukannya dengan sempurna, dengan tempo dan irama yang seolah telah diperhitungkan secara matang. Pada saat-saat tertentu membaca Deru Gunung kita akan merasakan sedang membaca haiku atau semacam puisi dengan kalimat-kalimat yang indah dan terasa lembut.

Sekali lagi membaca karya sastra luar menurut saya adalah pengembaraan ke ranah asing, sekaligus mencoba mengenalinya meski dengan mengeja dan terbata-bata. Sebagaimana kata Eka Kurniawan, membaca karya sastra adalah meneropong suatu bangsa dari celah yang sangat kecil. Kita akan mencoba menafsir dari hal-hal yang berhasil kita tangkap melalui sebuah karya sastra. Sebagaimana pengalaman membaca Deru Gunung, kadang semua terasa samar, plot yang tidak jelas entah akan membawa kita kemana, bahkan kita harus siap menerima kemungkinan akan sampai pada hal-hal yang tak berujung. Kita tidak menemui klimaks dari sebuah cerita. Sama sekali berbeda dengan sebuah film yang kerap memiliki klimaks sebuah cerita. Dan rasanya kepuasan semacam itu seolah adalah imbalan yang harus kau dapat setelah membeli tiket untuk sebuah film.

Tapi entah kenapa beberapa karya sastra ditulis dengan ending yang tampak tak memiliki ujung. Seolah cerita belum selesai, namun sebagaimana kata M Aan Mansyur, hal semacam itu merupakan estetika dari sebuah cerita. Sebagaimana pernah saya lakukan juga, sebagai penulis saya mengalami kepuasan tersendiri ketika menyelesaikan sebuah cerita yang tampak mengambang dan seolah belum selesai. Dan ini seperti memberikan lubang pada pembaca untuk mengira-ngira seperti apa cerita selanjutnya atau pembaca lain akan tampak penasaran dengan kejadian selanjutnya dan merasa tidak terpuaskan. Mungkin ini yang dimaksud kita telah memberikan ruang berpikir bagi pembaca, memberikan kebebasan untuk menafsirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan semacamnya. Sehingga semua itu dilakukan bukan karena penulis egois atau apa tapi yakinlah, mungkin mereka hanya ingin melakukannya saja seperti yang pernah saya lakukan satu atau dua kali jika saya mau.

Terakhir saya mohon maaf saya tidak banyak mengulas tentang bagaimana keseluruhan cerita di novel Deru Gunung, tapi jika anda mau silakan baca sendiri dan rasakan perjalanannya.

Catatan:

*)Haiku: puisi Jepang yg biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku kata yg terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5 suku

Setangkai Melati di Sayap Jibril, Danarto

Saya banyak melihat cerita yang tak lazim di buku kumpulan cerita Setangkai Melati di Sayap Jibril, ini. Namum setiap tokoh dalam cerita buku kumpulan cerpen ini menganggap hal itu sebagai sebuah kewajaran yang dapat diterima dengan nalar dan akal sehat. Saya teringat Eka Kurniawan ketika menyangkal bukunya, Cantik Itu Luka tidak bekerja sebagai realisme magis, yakni pada saat Dewi Ayu bangkit dari kubur, dan orang-orang di cerita itu tak menganggapnya sebagai sebuah estetis atau suatu kewajaran dalam kehidupan sehari-hari, malahan sebaliknya itu adalah sebuah keganjilan di kehidupan nyata. Jadi unsur realisme magis patah oleh adegan selanjutnya ketika orang-orang berlari ketakutan melihat Dewi Ayu bangkit dari kubur. Sementara dalam buku kumpulan cerita Setangkai Melati di Sayap Jibril, tokoh-tokohnya menganggap suatu hal ganjil sebagai sebuah estetis.

Seperti dalam cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril, seorang Kiai melihat sebuah bunga yang tergeletak di sajadah lantas mengira bahwa itu adalah dari Malaikat Jibril tanpa ada perasaan yang berlebihan entah itu takut atau terlalu senang. Adegan selanjutnya diperkuat oleh kedatangan Malaikat Jibril yang menemui Kiai untuk menanyakan perihal melati, namun Kiai menanggapi biasa saja sebagaimana ia bertemu dengan manusia pada umumnya. Hal semacam ini rasanya bisa dijumpai dalam beberapa cerita seperti Paris Nostradamus, Jakarta 2020 Atawa Holobot, dan beberapa cerita lain sepertinya juga sama.

Dalam beberapa cerita lain di buku ini, saya kerap tidak bisa menangkap alur atau apa yang ingin dikisahkan Danarto dalam cerpen-cerpennya. Kebanyakan cerpen dalam buku ini adalah bentuk cerpen panjang, cerpen yang memiliki bentuk berbeda dengan cerpen yang kerap dimuat di media-media seperti koran yang pada umumnya tidak terlalu panjang. Dalam buku ini terasa kental sekali kearifan lokal Indonesia khususnya budaya Jawa dan sisi spiritual Danarto. Sebagai narator ia kerap mengumpat dengan kalimat-kalimat suci dari Al-Quran: masya Allah. Saya rasa inilah karakter Danarto.

Saya merasa dalam cerpen-cerpennya, Danarto mencoba untuk bereksperimen bagaimana membangun kesan kontemporer dalam cerita-cerita yang ia tulis di tahun 90-an. Seperti dalam cerpen Jakarta 2020 Atawa Holobot, Danarto menceritakan bagaimana suatu kota yang di kuasai robot.

Beberapa cerita lain, mengingatkan saya pada cerita-cerita sureal atau fantasi namun tetap tidak meninggalkan kearifan lokal Indonesia. Seperti pada Cerpen Percintaan dengan Pohon yang mana pada suatu tempat tiba-tiba muncul pohon besar yang entah pohon apa itu. Namun orang-orang yang tinggal di sekitar pohon tersebut menerima begitu saja kehadiran pohon itu. Juga dalam cerpen Garasi, menceritakan sebuah lubang energi yang membuat orang-orang menghilang. Membaca cerpen-cerpen Danarto ini membuat saya mengingat beberapa film anime Jepang yang bergenre fantasi dan semacamnya. Dalam serial One Punch Man, saya teringat sebuah adegan ketika Saitama pertama kali berjumpa dengan Monster Kepiting, ia menganggap biasa kehadiran sang monster yang berada tepat di depannya.

Sejauh yang saya tahu penulis Indonesia yang mempunyai genre semacam ini adalah Sabda Armandio, di cerpen-cerpennya yang ia publikasikan secara gratis di webnya (beberapa hari terakhir web tersebut sudah terproteksi), ia menulis banyak cerpen-cerpen yang tidak hanya membicarakan kearifan lokal, namun memadukannya dengan imajinasi liar kita, tentang monster, alien, dan tempat-tempat semacam utopia atau dystopia.

Terakhir saya menganggap harus ada rekonstruksi ulang tentang cerpen-cerpen kita yang kerap menonjolkan kearifan lokal dan mitologi kita yang itu-itu saja. Paling tidak kita harus merombak lagi bentuk-bentuk cerpen kita yang melulu membicarakan, tentang larangan melangkahi kakak perempuan dalam hal pernikahan, larangan membunuh cicak saat istri sedang hamil, dan semacamnya itu yang rasanya jika kita bicarakan secara terus-menerus akan membuat perut kita merasa mual dan membuat betapa kita hanya tahu Indonesia dengan segala aibnya.

berlin proposal, Afrizal Malna

Puisi yang ditulis ketika Bahasa kehilangan representasinya sebagai bahasa atau alat untuk menggambarkan sesuatu, seperti apa bentuknya? berlin proposal buku kumpulan puisi Afrizal Malna ini ditulis dalam kondisi seperti itu. Ketika ia tak lagi menemukan makna yang mampu di ungkap bahasa.

Dalam catatan moabit dalam buku ini ia sendiri mengatakan: Tubuh saya ada disini. Makna juga ada di sini. Tetapi bahasa yang saya gunakan tidak ada di sini. Ada jendela dari reaksi neurotik yang terbuka … Sebenarnya catatan moabit tak ubahnya sebuah Kata Pengantar dalam sebuah buku. Dalam catatan itu menerangkan bahwa buku puisi ini ditulis Malna ketika ia sedang menghadapi konflik yang terjadi dalam dirinya. Bahasa Indonesia yang biasa ia gunakan dalam mengungkap apapun tiba-tiba kehilangan kesaktiannya, lumpuh dan tak mampu berbuat apa-apa lagi ketika ia sedang berada di Berlin. Saat ia sedang mengikuti artis residen dari DAAD di Berlin selama 1 bulan (2012), dilanjutkan selama 1 tahun (2014 – 2015).

Sebenarnya beberapa tahun yang lalu—entah satu atau dua tahun yang lalu—saya telah selesai membaca buku puisi ini. Menurut saya mengulang pembacaan buku yang sudah selesai dibaca tidak jauh beda dengan memutar ulang film yang telah selesai ditonton. Tentu saja tidak menarik, kita sudah mengenal tokoh-tokohnya, alur cerita, setting, konflik, lalu apa yang kita peroleh kecuali kebosanan dan hanya membuang-buang waktu. Kurang lebih seperti itulah yang saya pikirkan sebelumnya. Namun setelah saya melakukannya di beberapa buku ternyata saya salah besar. Mengulang bacaan bukanlah kesia-siaan.

Di satu titik saya menyadari sebagaimana, kodrat manusia berawal dari kebodohan, tidak tahu apa-apa, dan senantiasa terus belajar untuk mencari tahu. Selama jeda dua tahun ketika pertama kali membaca berlin proposal. Saya mencoba untuk terus membaca dan mencari tahu, memperkaya khazanah bacaan saya istilah kerennya barangkali seperti itu. Di pembacaan kedua saya seperti menemukan banyak yang telah terlewatkan di pembacaan yang pertama. Pandangan saya tentang puisi juga semakin kompleks, meski sebenarnya hingga sekarang saya masih belum tahu makna konkrit dari sebuah puisi. Mungkin sebagaimana Orhan Pamuk, saya hanya menyukai harum buku, gambar sampul, larik-larik tulisan, melihat indahnya dunia di dalam tulisan, dan entah secara sadar atau tidak sadar membuat saya terpancing untuk menulis juga.

Dulu Afrizal Malna tak ubahnya seperti Mario F Lawi di kepala saya, orang yang membuat saya bingung tentang puisi. Namun seiring saya terus membaca dan mencoba menulis puisi, pandangan saya terhadap puisi, dan bagaiamana puisi yang bagus dan memiliki gaya pembaharu atau mungkin karakter yang kuat, adalah kau harus menjadi seperti Mario F Lawi atau Afrizal Malna. Untuk sementara atau batasan pengetahuan saya hanya sebatas mereka. Afrizal Malna dan Mario F Lawi di dalam puisi-puisinya seperti menyuguhkan dunia baru yang benar-benar asing namun tetap menyenangkan untuk dinikmati.

Sebenarnya persoalan terakhir inilah yang membuat saya membaca ulang buku berlin proposal disamping status saya sebagai mahasiswa yang serba kekurangan uang untuk membeli buku bacaan. Akhirnya saya memutuskan untuk membacanya ulang, saya mencoba masuk, dan menyelam di dalamnya sembari menikmati berjuta rasa yang disuguhkan Malna di dalam puisi-puisinya. Dan saya rasa telah berhasil melakukannya. Sedikit bocoran di dalam berlin proposal, Malna seperti sedang bereksperimen tentang bentuk, metafor, frase, kosakata dan macam-macam lainnya tentang puisi yang umum dituliskan orang-orang. Malna seperti ingin menemukan yang baru, melompati hal-hal yang wajar untuk menuju kewajaran yang baru. Barangkali seperti itulah yang telah dilakukan Afrizal Malna dalam berlin proposal. Atau ini hanya semacam ketololan saya yang mencoba mengulas sebuah buku puisi.

24 Jam Bersama Gaspar, Sabda Armandio

Apa motif seseorang untuk berbuat jahat? Atau apa bedanya jahat dan baik? Dalam novel 24 Jam Bersama Gaspar ini kau mungkin akan menemukan jawabannya, paling tidak kau akan mengerti seperti apa cara berbuat jahat yang keren dan membuatmu tetap terhormat sekalipun kau selalu berbuat jahat.

Setelah membaca habis seluruh cerpen Sabda Armandio di webnya, Agraria saya benar-benar merasa saya belum apa-apa. Sabda Armandio seperti menunjukkan kepada saya sebuah cerpen kontemporer yang keren, fresh, dan tidak ketinggalan zaman. Ia seperti menyuguhkan sebuah inovasi baru dari pelbagai warna-warni cerpen. Ketika membaca cerpen-cerpennya, saya semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kehidupan penulis ini. Memang selalu seperti ini, kebiasaan saya ingin tahu banyak tentang kehidupan penulis selalu muncul setelah saya membaca sekaligus meyakini bahwa ini benar-benar tulisan yang bagus. Tapi kali ini saya patut kecewa karena biografi tentang Sabda Armandio tidak terlalu banyak dipaparkan di dunia maya. Namun tulisan-tulisan tentangnya, dan beberapa wawancara yang dilakukan segelintir orang tentang dia rasanya cukup untuk meyakinkanmu bahwa penulis ini bukanlah pseudofiksi. Seperti yang ia lakukan pada Arthur Harahap. Di Cerpen-Cerpennya kalian akan menemukan humor-humor yang cerdas, terkesan main-main namun kerap membuat kita merenung, cara memvisualisasikan adegannya terkesan kuat dan kita akan dengan mudah membayangkan adegan-adegan tersebut sekaligus dengan mudah juga mencerna alur ceritanya, meski Sabda membuatnya lain dari kebanyakan alur cerita yang biasa kita temui di cerpen-cerpen yang kerap dimuat di media cetak nasional atau online. Bernard Batubara pernah mengatakan bahwa kualitas dari cerpen-cerpen ini benar-benar diatas rata-rata. Rasanya saya setuju dengan yang dikatakan Bang Bara, meski saya tidak mengetahui banyak tentang sastra saya merasakan cerpen-cerpen Sabda punya karakter sendiri. Disini ia seolah meramu dan melatih teknik-teknik menulis yang ia dapatkan dari berbagai sumber. Dan kadang-kadang ia juga bereksperimen dengan gaya baru, entah saya tidak tahu usahanya berhasil atau tidak, tapi ketika membacanya saya merasa senang saja. Disana kau akan menemukan hantu sebagai narator, dua sudut pandang dalam satu cerita, kisah horror kontemporer yang keren sekaligus menakutkan, dialog-dialog yang cerdas yang kerap membuat kita merenung. Salah satunya di cerpen Hujan Katak kau akan menemukan topik pembicaraan tentang Tuhan. Salah satunya yakni, “Tuhan yang menciptakan waktu, atau waktu yang menciptakan Tuhan.” 

Baiklah disini saya akan berusaha mengomel sedikit tentang novel kedua Sabda Armandio ini. Novel ini dibuka oleh sebuah Pengantar dari Arthur Harahap. Jika kau membaca cerpen-cerpennya di web, kau tidak akan asing dengan nama itu. Sabda menyebutkan bahwa Arthur adalah seorang penulis hebat yang selalu melatih ilmu kepenulisannya, kau juga mungkin pernah menjumpainya di jalan saat sedang berjalan-jalan, duduk di sampingnya saat sedang naik bus, entah ini benar atau tidak rasanya Sabda Armandio telah berhasil memainkan rasa penasaran kita, ia seolah ingin mempermainkan keseriusan orang-orang. Atau sekaligus menertawakan dan membuat orang-orang yang selalu menyikapi sesuatu dengan serius tampak tolol, jika memang benar Arthur Harahap adalah adalah sebuah pseudofiksi, kali ini hanya Allah dan Ia saja yang tahu kebenarannya. Sabda Armandio penulis kelahiran 1991 ini seperti telah memberikan warna baru di dunia sastra yang dulunya kebanyakan wajah sastra Indonesia hanya berada di sekitar adat dan budaya masa lalu, pembunuhan massal PKI, kolonialisme, dan semacamnya. Di novel 24 Jam Bersama Gaspar kau akan menemukan sebuah novel yang tidak hanya melulu mengangkat adat sebagai alternatif latar dari keseluruhan cerita. Ia seperti membuat dunia sendiri, kekikinian, namun tetap tidak meninggalkan kearifan lokal tanah air kita. Disini kau masih bisa menemukan warung pecel lele, toko emas, dan suara adzan subuh. Seperti itulah Indonesia kita.

Di novel ini kau akan menemukan dua alur cerita. Pertama sebuah percakapan antara Polisi dengan Mantan Dokter yang membicarakan tentang kasus kematian sesorang. Kedua adalah cerita yang dipaparkan melalui sudut pandang Gaspar. Gaspar sendiri menurut saya adalah seorang narator yang dianugerahi kekuatan jahat yang melimpah ruah. Dan ketika menjadi narator, kita akan segera tahu bagaimana psikologi orang jahat. Sebagaimana niat jahat Gaspar untuk mencuri kotak hitam di toko emas Wan Ali. Wan Ali sendiri adalah orang yang memiliki motif jahat karena alasan untuk kebaikan. Sudah berapa kali kita sendiri melakukannya, berbohong demi kebaikan, mencuri obat karena untuk untuk menyembuhkan orang di rumah. Seperti inilah manusia selalu lihai berlindung diantara alasan-alasan baik. Sebagaimana kita tahu sekarang ini banyak sekali dasar-dasar dalam ayat suci yang diambil sebagian saja untuk membenarkan kepentingan oknum-oknum tertentu. Dan hal inilah barangkali yang membuat Gaspar lahir di dunia. Ia menunjukkan pada kita cara berbuat jahat yang membuatmu tetap dihormati meski engkau adalah manusia yang jahat. Sebagaimana katanya, kalo jahat ya jahat saja, kalo baik ya baik saja. Saya yakin Gaspar benci sekali pada orang-orang jahat yang berlindung di balik pembenaran-pembenaran yang membuat perbuatan jahatnya menjadi baik dan bisa dimaafkan.

Selanjutnya saya tidak akan berbicara banyak tentang keseluruhan cerita, lebih baik baca sendiri novelnya dan silakan menjadi medioker yang banyak omong layaknya seorang kritikus ulung.

—ennui

we chant as the office burns

the journal

things we do to stay sane

Jagat Joni

Selayaknya ingatan, semua bergantung pada sesiapa yang mengingat.

isbapurbo

Alcoholic

Straw Hat Jafar

Valar Morghulis

Pahlate

fascio de commbatimentto

Meucakra

Sekadar berbahasa tentang isi hati

kampungmanisku

menjelajah dunia seni tanpa meninggalkan sains

L.I.A.R

Lamongan Independent Artist Revolution

Mahafatih

karena kuasa kata, di sana aku bertakhta.

Abinaya Ghina Jamela

Mari Bersuara!

poemstoalive

#poemstoalive #hellopoetry #Indonesiapoetry #IndonesiatoEnglishpoetry #poems #wordporn #poetry #poets #penyair #penulis #penerjemahindonesiainggris #penerjemahpuisi #translation #menerjemahkandalambahasainggris #translatorsoon #youngtranslator #Indonesia #Jakarta #Sastra #Puisi #KepadaPuisi

Jamil Massa

Cerita-Cerita-Cerita

Budhi Setyawan

Sinergi Musik dan Sastra