:Catatan membaca buka pintu kiri, Afrizal Malna
Kematian Makna Kata dalam Suatu Bahasa
Entah sejak kapan kita selalu dicekoki bahwa puisi selalu perihal kata atau barangkali lebih tepatnya seputar ‘bahasa’. Seolah-olah media dalam mencipta puisi hanyalah seputar Bahasa. Jika bahasa mati atau tidak ada, puisi tentu saja ikut tiada. Bukankah itu sungguh miris sekali. Seakan-akan puisi tak ubahnya tumbuhan atau benalu yang hidup menumpang di pohon lain. Sehingga puisi sebagai salah satu tumbuhan atau benalu tadi, ia hanya tumbuh ketika ada medium tumbuh bernama ‘pohon lain’ itu ada atau masih hidup. Sementara puisi tentu saja medium tumbuhnya adalah ‘bahasa’. Dan jika medium bernama ‘bahasa’ itu mati atau tidak ada tentu saja puisi yang bernasih serupa ‘benalu’ tadi juga ikut tiada atau mati. Apa benar demikian? jika benar betapa miskin dan menyedihkannya puisi itu, ia tumbuh ditopang oleh adanya benda bernama ‘bahasa’.
Jika menengok ke belakang sejarah perpuisian tanah air kita, puisi sejauh ini hanya seputar kata sementara kita tahu bahwa kata memang lahir dari bahasa yang setiap kata-nya memiliki makna. Setiap kata dalam bahasa memiliki beban makna yang ia pikul masing-masing. Barangkali begitulah satu puisi dilahirkan atau diciptakan, ia disusun dari kumpulan kata, dan dengan tipografi juga makna yang terkandung di dalamnya. Memang jika berbicara makna dalam kata, kita akan bertemu dengan Sutardji Calzoum Bachri, penyair terkenal dengan kredonya tentang pembebasan kata dari makna. Dalam beberapa puisinya, ia mencoba memecah kata menjadi beberapa suku kata atau fonem-fonem yang tak memiliki makna melainkan hanya bunyi-bunyian. Seperti ditunjukkan dalam puisnya yang berjudul Tragedi Winka dan Sihka. Kita akan menemukan puisi yang disusun dengan tipografi sedemikian rupa, membentuk zig-zag dan kata-kata yang terpenggal menjadi fonem-fonem dengan suaranya tersendiri.
Sementara itu dalam buka pintu kiri, Afrizal Malna juga beberapa kali menyinggung makna yang terkandung dalam kata suatu bahasa. Entah kenapa ia seolah terganggu akan makna-makna yang terkandung dalam tiap kata. Ia seolah ingin mencongkel makna yang telah dibungkus oleh kata itu sendiri. Barangkali itu serupa mengeluarkan isi kacang dari kulitnya dan hanya menyisakan kulit saja sebagai benda yang tidak menanggung beban untuk melindungi isi yang ia bungkus. Kata juga seperti itu dalam suatu puisi yang barangkali diinginkan Malna dalam sebagian puisi di buka pintu kiri, tapi ia sama sekali berbeda dengan Sutardji.
Dalam puisi teknoteks: ajisaka kita akan menyaksikan visualisasi ruang oleh gambar, seolah itu benar-benar ruang yang di langit-langit dan lantainya dipenuhi huruf-huruf aksara jawa. Dan di dinding ruang tersebut, terdapat sebuah poster yang seolah tidak menepel pada dinding ruang. Namun dalam dua larik terakhir tertulis: dua pengawal mati/ di depan gerbang Bahasa. Lalu dalam puisi kamus besar bahasa Indonesia, kita akan menemukan puisi yang divisualkan gambar lalu diksi ‘mati’ mengakhiri bebeberapa senyawa kimia. Dan puisi itu diakhiri dengan tiga larik yang seolah menegaskan diksi ‘mati’ dalam Bahasa: dua orang penjaga kamus/ sinonim dan antonim/ tembak-tembakan di dalam toilet. Dan dalam puisi; anonymox aurat kita akan menemukan larik: … koyak/ immaterial bahasa/ tinggalkan makna/ di luar batu nisanmu. Sementara dalam puisi; glitchtext, kita akan menemukan visualisasi atas kaleng kerupuk lalu di kaca kaleng tertulis ‘MAKNA Coret’ lalu dilanjutkan dengan gambar kamera yang membelakangi tanda silang kemudian di bawahnya tertulis ‘MAKAN’. Tapi tidak berhenti di situ, puisi ini berlanjut dengan larik-larik puisi dengan layout dua kolom. Yang mana seolah puisi ini adalah pertanyaan serius sekaligus humor yang diselipkan secara samar. Ia adalah pertanyaan tentang menghapus makna dalam kata. Apakah kata-kata bisa keluar dari beban memikul makna, dan peryataan bahwa kata seolah terbebani oleh adanya makna yang terkandung dalam tubuhnya. Apakah kata-kata bisa terbebas dari makna kata itu sendiri. Jawabnya ternyata sangat mudah dan seolah menyentil kita yang terlalu serius menjadi manusia dalam menyikapi permasalahan duniawi. Ia menjawab: bisa. cukup coret kata itu … lantas kita akan menemukan diksi ‘(makna)’ tercoret oleh tanda silang.
Di sini bahasa dikatakan sebagai benda immaterial, namun ia kerap kali ditunggangi. Karena kata-kata memiliki makna. Kerap sekali dimanfaatkan untuk menciptakan kepercayaan-kepercayaan yang dipaksakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk menyihir pikiran banyak orang. Ia seolah menjadi alat yang tidak terlihat dalam menyampaikan kehendak-kehendak atau kepentingan-kepentingan pribadi, sehingga keyakinan tidak tumbuh secara alami dalam setiap diri. Ada suatu politik bahasa yang terkandung dalam kata. Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa larik terakhir dalam puisi glitchtext berikut; apakah kamu bisa memotret sebuah/ “kepercayaan” yang menggunakan/ bahasa jadi berbusa-busa, menyihir/ pikiranmu. Membuatmu tidak bisa/ mengalami bagaimana “keyakinan”/ tumbuh sebagaimana kamu meng-/ hayati alam sebagai proses saintis yang/ puitis, tidak dogmatis. Coretlah karya ini/ sesukamu, katakanlah sebagai sebuah/ main-main untuk melumerkan otoritas/ makna dari politik bahasa di sekitarmu.
Dalam hal ini Malna tentu saja berbeda dengan Sutardji meski keduanya mempersoalkan makna kata dalam bahasa. Dalam puisinya, Malna masih menggunakan kata yang menanggung adanya makna sebagaimana fungsi kegunaannya, untuk menyampaikan imaji, perasaan dan pikiran penyair atau aku lirik dalam setiap narasi puisi-puisinya. Sementara Sutardji memilih untuk segera melakukan apa yang ia yakini, seperti dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka.
Perkara Isi, Imaji dan Visual Puisi
Dalam buka pintu kiri kita akan mendapati bagaimana Malna memandang puisi. Ia melakukan percobaan yang begitu beragam mulai dari bentuk (tipografi), atau wujud (produk) dari puisi itu sendiri. Atau barangkali Malna telah melampaui batasan-batasan yang mengurung sesuatu itu dikatakan puisi harus dengan syarat yang telah ditentukan. Namun di buka pintu kiri Malna seakan telah mencari ranah baru puisi yang dijangkau oleh dirinya sendiri, seperti seorang pengembara yang telah ribuan tahun berjalan, ia telah menemukan kawasan-kawasan baru yang hanya bisa dilihat oleh dirinya seorang. Sehingga jika usahanya dalam mencari bentuk-bentuk baru akan puisi ini bukan lagi pantas untuk disebut sebagai suatu percobaan. Malna barangkali telah menemukan puisi dalam bentuk lain yang belum terjamah oleh estetika puitik di kepala penyair kebanyakan.
Dalam hal tipografi, kita akan menemukan layout puisi yang beragam dari bentuk bait-bait yang biasa, hanya satu kolom dalam satu halaman hingga puisi dengan bentukan yang tidak lazim dan memiliki dua kolom dalam satu halaman. Seperti ditunjukkan dalam puisi berjudul link: https://youtube.be/C8n2Frual8k puisi dan krikil di tokyo, sepasang burung camar, dan der platz. Mereka memiliki bentuk tipografi yang demikian.
Jika mengamati hampir kebanyakan puisi dalam buka pintu kiri Malna tampak memberdayakan atau barangkali mengeksploitasi apapun di luar kata itu sendiri, seolah kata dengan metafor dan pemilihan diksi tidaklah cukup untuk menyebut makhluk bernama ‘puisi’ di kepala Malna, seperti yang tampak pada beberapa puisi di buka pintu kiri. Kita akan mendapati penggunaan tanda baca dan beberapa gambar simbol yang bertebaran di mana-mana, seperti dalam puisi berjudul kematian tanda baca kita akan menemukan simbol emoticon yang terselip di tengah-tengah puisi. Atau dalam puisi diagram 2 batas jenuh atas alfabet kita juga menemukan symbol playlist.
Sementara dalam puisi algoritma snowden kita akan menemukan permainan tipografi dan font size akan alfabet tanda baca dan angka. Dalam hal ini Malna seakan-akan memandang puisi menjadi isi puisi dan rupa yang tervisualkan dalam lembar kertas berukuran A5, barangkali Malna telah memikirkan hingga sejauh itu. Tidak hanya kata-kata yang terjalin membentuk imaji dan isi puisi yang tersampaikan di kepala pembaca namun bentuk visual cetak satu puisi itu dalam media kertas berukuran 14 x 20 cm. Barangkali ini akan berbeda lagi jika Malna mencipta puisi pada suatu tembok berukuran 5 x 2 meter misalnya.
Sementara dalam hal tipografi dan makna kata, sebagaimana dilakukan Sutardji dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka yang mencoba memotong-motong kata menjadi fonem-fonem yang hanya memiliki bunyi kata atau alfabet ditunjukkan Malna dalam puisi link: https://youtu.be/B6QO6Uv91pg blackboard kita akan menemukan bentukan puisi yang disusun dari kata ‘kebohongan’ yang dipecah-pecah menjadi beberapa fonem dan dengan tipografi yang sedemikian rupa, memanjang hingga tiga halaman. Seolah-olah menunjukkan bahwa Tragedi Winka dan Sihka hanya yang dilakukan Sutardji hanya perkara serupa memandangi daun kering yang gugur dari ranting ketika tertiup angin, hal yang biasa saja dan tidak perlu tercengang hingga berlarut-larut. Ia hanya perkara yang lewat begitu saja. Tak cukup mampu untuk menculik sedikit saja ruang di kepala kita untuk menjadikannya kesan atau kenangan.
Peta Estetika di Kepala Penyair
Pada akhirnya membaca buka pintu kiri kita akan menemukan sekaligus menyelami apa itu puisi dalam kepala Malna. Kita akan menjumpai puisi yang disusun dari kata dan bahasa dengan imbuhan tanda baca yang bertebaran di mana-mana seolah ia berfungsi sebagai dekorasi ruang puisi, juga gaya tampilan yakni tipografi tadi, yang jika diibaratkan puisi itu sebagai manusia, Malna mencoba memberinya pakaian yang tidak lazim di pakai manusia pada umumnya, ia tidak melihat trend gaya berpakaian atau budaya masyarakat. Namun hal semacam itulah yang membedakan puisi-puisi Malna dengan penyair lain.
Bahkan kita juga akan menjumpai puisi yang barangkali lebih mirip disebut prosa ketimbang puisi itu sendiri. Ia serupa cerita yang panjang konkrit dan memiliki alur yang jelas hanya saja dalam puisi itu seolah ada suatu maksud lain yang tersirat dan sembunyi dibalik makna cerita itu sendiri. Seperti terjadi pada puisi papan tulis tak berwarna, juga dalam puisi perpisahan bapak dan anak dalam dunia seni lukis. Dua puisi tersebut barangkali serupa prosa ia gamblang menunjukkan adanya tokoh, adegan, alur, juga setting. Namun entah kenapa dalam puisi berbentuk prosa itu seolah ada suatu rasa puitik tersendiri yang barangkali Malna memasukkannya sebagai puisi ketimbang prosa.
Juga yang tidak jarang kita jumpai dalam puisi-puisi buka pintu kiri adalah puisi yang tidak tersusun dari kata, fonem atau aksara melainkan gambar, foto, ilustrasi, symbol, bangun persegi bahkan bagan struktural organisasi di mata Malna barangkali juga adalah puisi. Jika fenomena ini kita hadapkan dengan kondisi sosial masyarakat, tentu saja puisi-puisi Malna telah melakukan penyimpangan sosial dari lazimnya bentuk dan wujud puisi. Dan sewajarnya ada dua kemungkinan yang terjadi, sebagaimana orang-orang yang melakukan penyimpangan sosial. Pertama dikucilkan kedua pembaharu atau inovasi. Puisi-puisi Malna sekiranya juga sama, ia bisa mendapatkan kesan pengucilan atau pembaharu, jika memang apa yang terjadi pada puisi-puisi Malna bisa diterima oleh khalayak pembaca puisi.
Boleh jadi puisi-puisi dalam buku buka pintu kiri adalah suatu bentuk kejenuhan Malna akan kata berikut maknanya. Sehingga ia ingin memunculkan suatu bentuk baru yang menyimpang namun di mata seorang pengelana, ia tidak lain adalah puisi sebagaiamana puisi pada pengertian yang menempel di kepala banyak orang. Hanya saja daya jangkau atau daya kelana Malna terhadap esensi puisi lebih jauh dan tak tergapai oleh pembaca puisi, hari-hari ini.
Membaca buka pintu kiri seolah melihat penyair yang asyik dengan dunia estetiknya sendiri. Penyair melakukan apa yang ia mau, berlarian ke sana kemari menembus pagar, kavling, teritori, yang telah ditetapkan, untuk mendapati hal-hal baru yang tidak semua orang mampu lihat sembari menikmati apa yang janggal itu. Kita boleh menghujat semua ini gila, apa-apaan, tidak masuk akal, tapi apa berartinya hujatan itu jika penyair telah asyik masyuk dengan dunia yang sedang ia selami sedalam-dalamnya, menuju ruang-ruang lain, antah berantah, sembari melukis peta estetika di kepala si penyair sendiri.[]
Lamongan, 8 November 2021