Kebahagiaan dalam Omong Kosong Kaum Muda Kontemporer

Robby Julianda, entahlah aku sedikit lupa bagaimana dan kapan pertama kali mengenal namanya. Sebelum menyinggung buku keduanya, aku ingin mengenang sedikit tentang apa-apa yang kutahu darinya. Entahlah aku juga ragu telah mengenal namanya dari Dio, namun jika kalian membaca habis In Limbo—web yang menampung apa-apa yang Robby tulis—kalian akan menemukan sebuah resensi 24 Jam Bersama Gaspar yang ditulis secara ganjil namun menyenangkan. Ia menulis resensi tidak dalam bentuk umumnya resensi, seperti yang kebanyakan orang pernah lakukan di Koran-koran, atau di web-web yang menerima tulisan semacam resensi. Sebagaimana saya yang papa kreatifitas ini tahu resensi selalu menyuguhkan data buku: jumlah halaman, ukuran buku, cetakan, dan segala tetek bengek yang membosankan. Robby membuat resensi itu tampak seperti sebuah cerita ringan yang asyik, tampak seperti orang main-main, namun seluruh kandungan buku kelebihan dan kekurangannya mampu Robby paparkan. Inilah kenapa aku selalu berpikir menulis fiksi itu lebih sulit dari pada menulis non-fiksi—mungkin dalam kesempatan lain aku akan menulis secara utuh hipotesis itu dalam bentuk esai utuh.

Resensi yang dibungkus cerita fiksi itu mungkin menjadi tulisan pertama Robby yang kubaca dan sekaligus berhasil membuatku misuh. Mulai dari situ, kedengkianku terhadap Robby memuncak. Rasa penasaranku terhadap tulisan-tulisan Robby semakin tak terbendung, sehingga aku membaca habis In Limbo dan mengimani bahwa, Robby tak akan mengecewakan kita jika mau membeli buku-bukunya.

Dalam membaca In Limbo kalian akan menemukan apa saja yang Robby tulis. Sekilas mungkin akan terkesan receh. Ia menulis jurnal tentang pertemuannya dengan Lennon, catatan usai menyimak film, catatan usai membaca buku, menerjemahkan beberapa cerpen penulis manca Negara, dan sesekali menulis cerpen-cerpennya sendiri. Salah satu cerpennya yang pernah dimuat Tempo, Pilihan Ganda dari Tuhan juga ia cantumkan di sana. Jika kalian sabar dan mau membaca tulisan-tulisan Robby dalam In Limbo, kalian akan mengerti apa yang telah dilakukan Robby tidaklah receh. Dan secara tidak sadar kita telah melihat laboratorium menulis Robby.

Penulis asal Nagari Sunga Landia, Kabupaten Agam Sumatera Barat, yang lahir pada tahun 1991 itu seolah akan menununjukkan apa yang ia bisa dalam novela, sekaligus buku keduanya, Omong Kosong yang Menyenangkan. Sebelum ini Robby juga menerbitkan noveletnya yang berjudul Menunggu Minggu Pagi, diterbitkan Basabasi. Namun kali ini kita akan mencoba berbicara sebanyak mungkin terkait Omong Kosong yang Menyenangkan.

Mulanya aku tidak mengerti apa kaitan antara ilustrasi cover berupa kaleng sardines dengan Omong Kosong yang Menyenangkan. Seolah dua hal itu sama sekali tak ada kaitannya, tapi sebenarnya juga tidak terlalu penting ilustrasi itu ada kaitannya atau tidak. Syukur-syukur kalau keduanya memiliki kaitan, atau paling tidak dapat mewakili seluruh isi buku. Namun jika tidak, Kaleng Sardines itu menurutku sudah berhasil dalam dua hal yang pertama, memantik rasa penasaranku. Kedua memuaskan estetikaku yang receh terhadap visualisasi sampul buku.
Membaca kalimat pertama novelet ini segera mengingatkanku pada dua orang. Yang pertama Dea Anugrah, kedua Sabda Armandio. Keduanya kerap membuatku pesimis untuk menekuni profesi menulis. Di kalimat pertama Omong Kosong yang Menyenangkan. Kita akan mengetahui bahwa Robby tidak asal-asalan menaruh kalimat, entah berapa lama ia berpikir hingga menemukan kalimat seperti ini:

Cerita ini akan berakhir dalam delapan jam ke depan, 168 kilometer dari sebuah warung pinggir jalan, tempat di mana Sal dan Lani membeli dua kaleng minuman bersoda sebelum mereka berpisah. (hlm. 1)

Dari kalimat itu aku sedikit mengerti bagaimana Robby mencoba membuat repetisi yang entah mengapa memiliki keraguan, bagaimana mungkin cerita ini dapat berakhir dalam delapan jam. Dan yang kedua bagaiamana Robby menyebut setting tempat yang kelewat cerdas, dan jujur membuatku sejenak berpkir apa yang sedang ingin ia kerjakan, menciptakan humor atau menunjukkan beginilah seni dalam membual agar aku tidak merasa tegang sejak awal. Ia menyuguhkan sesuatu yang berbeda.

Selanjutnya Robby juga kerap melakukan apa yang orang-orang sekarang lakukan. Dan jika memang menulis yang baikyang kerap beberapa penulis besar lakukan—yakni menulis tentang dirimu dan masamu, menurutku Robby telah fasih melakukannya. Ia kerap menyebut beberapa barang yang kita kenal, sebungkus rokok Lucky Strike, minuman bersoda, dan benda-benda elektronik lain yang tidak mungkin beberapa tahun lampau orang-orang tahu. Entah kenapa aku yakin seperti itulah sastra bekerja, menulis barang atau benda-benda semisal sebungkus Lucky Strike, laptop dan smartphone, akan memantik kita untuk memikirkan banyak hal salah satunya pertanda waktu dan kebudayaan yang sedang berlangsung.

Dalam beberapa kesempatan Robby kerap menyebut nama-nama orang asing, judul lagu, genre film, dan beberapa istilah asing yang belum banyak kukenal. Esha menyebut semua itu adalah semacam intertekstual, yakni keterkaitan satu karya dengan karya lain, dengan menyinggunnya secara sekilas saja. Hal ini entah kenapa seakan-akan menunjukkan kapasitas pengetahuan penulis, karakter dan kepribadian penulis. Mungkin ini juga semacam alusi, suatu metafora yang hanya Robby dan beberapa orang saja yang tahu, sehingga itu membuat orang-orang sepertiku yang awam ini akan terpancing untuk mencari tahu.

Kelebihan lainnya yakni Point of View (POV) yang Robby gunanakan dalam novela ini rasanya juga cukup menarik. Dari sudut pandan orang ketiga serba tahu dan dalam lingkup narator boleh masuk ke dalam isi kepala Sal. Aku merasa gaya bercerita dalam lingkup semacam itu menyuguhkan beberapa kesulitan juga kemudahan. Kesulitannya, sebisa mungkin kita harus menjaga godaan untuk memasuki isi kepala tokoh lain. Tapi bentuk seperti itu juga ada setahuku. Yang semacam itu, gaya bercerita yang bebas memasuki kepala setiap tokohnya, namun sejauh aku membaca aku belum menjumpai cerita yang semacam itu. Kemudahannya tentu saja penggambaran lingkunangan atau suasana yang lebih bebas dan terlepas dari suara tokoh Sal.

Keseluruhan cerita ini tentu saja tidak mungkin aku paparkan semuanya di sini. Namun ada beberapa hal yang entah kenapa aku merasa ada kemiripan antara Sal, Lani dan kaum muda kontemporer. Sal dan Lani mungkin juga representasi dari kebanyakan kaum muda masa kini yang tercerabut dari masyarakat, dari kehidupan sosial khususnya kearifan lokal. Mereka sama sekali gagap dengan semuanya namun dalam novela ini seakan-akan kita tidak bisa dengan serta merta melepaskan diri dari tetek bengek urusan masyarakat. Seperti dicontohkan dalam salah satu adegan bahwa Anwar membutuhkan Sal dalam menyelesaikan urusan tanah makam ibunya yang akan segera digusur pemerintah. Sementara Lani kerap memikirkan kecemasannya terhadap tato di bagian tubuhnya yang telah dilihat oleh kolega kerjanya, yang seakan-akan selalu memandangnya dengan sebelah mata. Aku merasa semua itu adalah bentuk dari ketidakmampuan kaum muda melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat. Semasa bodoh apapun kita terhadap kehidupan bermasyarakat pada suatu saat atau jauh dalam hati, kita kerap menyimpan kecemasan dan ketakutan-ketakutan tertentu, yang mau tidak mau menuntut untuk kita hadapi sebagai sebuah sikap kemanusiaan.

Di samping itu Robby dalam Omong Kosong yang Menyenangkan juga kerap menyinggung apa yang sedang dihadapi oleh pemuda lulus kuliah. Tidak lain adalah tentang kebahagian, bagaimana menjalani hidup yang ideal, pencarian jati diri. Ini ditunjukkan oleh kebimbangan Sal untuk mengambil keputusan sebagai seorang lulusan sarjana. Bahkan ia mempertaruhkan semuanya kepada petanda langit, seperti mendung, gemuruh badai, kilatan petir, bahkan hingga sebauh pesawat melintas. Jika ada salah satu dari sekian itu Sal akan berani memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan untuk kehidupannya di masa selanjutnya. Tidak jarang Robby juga berusaha menertawai kebahagiaan seperti dalam kalimat berikut:

Orang yang gemar memikirkan definisi kebahagiaan, jelas orang yang paling menyedihkan di dunia. Lebih menyedihkan dari sepasang kaus kaki yang sudah tak pernah terpakai lagi. (hlm. 38)

Dan sebagaimana omong kosong, semenyakitkan apapun ia memukul kita. Itu hanyalah pukulan-pukulan yang menuntut agar kita turut bahagia, dan turut menertawai kegagapan kita dalam menghadapi kehidupan.[]

*) Catatan membaca Omong Kosong yang Menyenangkan, Robby Julianda

—ennui

we chant as the office burns

the journal

things we do to stay sane

Jagat Joni

Selayaknya ingatan, semua bergantung pada sesiapa yang mengingat.

isbapurbo

Alcoholic

Straw Hat Jafar

Valar Morghulis

Pahlate

fascio de commbatimentto

Meucakra

Sekadar berbahasa tentang isi hati

kampungmanisku

menjelajah dunia seni tanpa meninggalkan sains

L.I.A.R

Lamongan Independent Artist Revolution

Mahafatih

karena kuasa kata, di sana aku bertakhta.

Abinaya Ghina Jamela

Mari Bersuara!

poemstoalive

#poemstoalive #hellopoetry #Indonesiapoetry #IndonesiatoEnglishpoetry #poems #wordporn #poetry #poets #penyair #penulis #penerjemahindonesiainggris #penerjemahpuisi #translation #menerjemahkandalambahasainggris #translatorsoon #youngtranslator #Indonesia #Jakarta #Sastra #Puisi #KepadaPuisi

Jamil Massa

Cerita-Cerita-Cerita

Budhi Setyawan

Sinergi Musik dan Sastra